Senin, 09 April 2012

Strategi Survival Masyarakat Pasca Bencana di Aceh

Secara heritage dan sistem nilai, Aceh memiliki kearifan lokal yang secara turun temurun survival dalam menghadapi bencana. Penelitian ini bertujuan untuk: (a) mengetahui karakteristik masyarakat di wilayah bencana tsunami dan banjir, (b) mengetahui strategi survival masyarakat berbasis kearifan local di daerah penelitian, (c) melahirkan model pemberdayaan menuju masyarakat survive dalam menghadapi bencana. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survey dengan pendekatan kualitatif. Teknik pengumpulan data melalui participant observation dan indept interview terhadap masyarakat yang mengalami langsung bencana tsunami, tokoh dan aparat desa. Data dianalisis dengan pendekatan kualitatif melalui “pemaknaan dan penjelasan” terhadap berbagai fenomena dan fakta sosial serta informasi yang diperoleh. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum tidak ada perbedaan signifikan antara karakteristik masyarakat di wilayah bencana tsunami dan banjir. Ada 4 hal yang melandasi survival masyarakat pasca bencana, yaitu : (a) keyakinan terhadap bencana yang datangnya dari Allah, (b) pemanfaatan bantuan, mereka yang mempunyai jiwa entrepreneurship dan tingkat pendidikan yang relatif tinggi memiliki survival yang lebih baik, (c) Strategi penghidupan adalah terkait dengan pemilihan pekerjaan pasca tsunami, kemampuan membaca peluang usaha kedepan, strategi berkeluarga dan memilih pasangan hidup, (d) dukungan sosial dari keluarga, saudara, teman/sahabat, tokoh agama, tokoh masyarakat, aparat desa, dan lingkungan masyarakat. Model pemberdayaan yang diusulkan adalah memamfaatkan potensi internal dan eksternal, berbasis masyarakat dan sumberdaya alam dengan melibatkan seluruh stakeholder, serta menyusun dan mengimplementasikan strategi intervensi sehingga masyarakat mampu mandiri dan survive dalam menghadapi bencana.

Rabu, 22 Februari 2012

CATATAN SINGKAT SURVEY PELUANG EKSPOR IKAN ACEH – MALAYSIA

Oleh : Indra (email: indra_ipb@yahoo.com)

Rata-rata jumlah pendaratan ikan di PPP Idi sekitar 30 ton/hari, lebih besar dari jumlah pendaratan ikan di PPS Lampulo, sekitar 20 ton/hari. Tahun 2009, jumlah armada yang beroperasi di PPP ini adalah 415 unit, yang terdiri dari 76 unit berkapasitas < 5 GT, 89 unit 5 – 10 GT, 106 unit 10 – 20 GT, 100 unit 20 – 30 GT dan 44 unit berkapasitas 30 – 50 GT. Jumlah alat tangkap adalah 486 unit, dengan rincian 89 unit jaring insang, 163 unit pancing, 71 unit mini puse seine, dan 163 unit purse seine. Jumlah nelayan adalah 6.739 orang, yang terdiri dari 6.594 orang merupakan nelayan buruh dan 145 orang nelayan pemilik. Jumlah hasil tangkapan, tahun 2009, adalah 10.895,99 ton, dengan jenis ikan dominan layang biru (Decapterrus macarellus), tongkol como (Euthynnus affinis), layang deles (Decapterrus macrosoma), albacora (Thunnus alalunga), lisong (Auxis rochei), tembang (Sardenella fimbriata), medidihang (Thunnus albacares), sunglir (Elagatis bipinnulatus), kembung (Rastrelliger brachysoma), dan cakalang (Katsuwonus pelamis). Dearah penangkapan ikan dilakukan di WPP Selat Malaka.

Ikan yang didaratkan di TPI Idi ini dipasarkan (1) pasar lokal, (2) pasar antar kabupaten (Kota Langsa, Aceh Tamiang, dll), dan (3) sebagian besar dibawa ke Medan. Di Medan, ikan-ikan tersebut ditampung oleh toke di Pasar Cemara atau langsung dibawa ke Belawan. Selanjutnya, disortir untuk dieksport ke Lumut Perak dan sisanya menjadi konsumsi lokal pasar Medan atau menjadi bahan baku industri ikan di Kawasan Industri Medan (KIM). Menurut Panglima Laot Idi, jumlah ikan yang dibawa ke Medan berkisar antara 7 – 9 truk perhari, dengan kapasitas tiap truk memuat 36 fiber ikan dan tiap fiber berisi 100 – 110 kg ikan. Artinya, ditinjau dari sumberdaya ikan sangat mungkin dilakukan ekspor ikan dari Idi – Lumut. Jumlah ini belum lagi dikomulasikan dengan hasil tangkapan di beberapa pelabuhan/TPI lainnya di seluruh Aceh, seperti PPS Lampulo Banda Aceh, PPI Pidie, Bireun, Lhokseumawe, Aceh Utara, Langsa, Aceh Tamiang, dan PPI lainnya di Pantai Barat Aceh. Menurut Pengurus Persatuan Nelayan Negeri Perak (PNNPk), Bapak Jamri dan Ahmad, bahwa sebagian besar ikan yang masuk ke Pelabuhan Lumut berasal dari ikan-ikan dari Provinsi Aceh yang diekspor melalui Belawan. Artinya, Aceh sangat potensial untuk melakukan ekspor ikan, tanpa melalui Belawan.

Biaya angkut dari Idi – Medan sebesar Rp 65.000/fiber, Langsa – Medan Rp 60.000/fiber, dan Banda Aceh – Medan Rp. 150.000/fiber. Hasil perhitungan menunjuk-kan bahwa (1) biaya transpor (Idi – Medan) mencapai 2 – 5 % dari harga atau penerimaan kotor penjualan ikan, dan (2) gross profit kegiatan ekspor ikan jalur Idi – Lumut adalah 10 – 20%. Namun, jika kegiatan ekspor dilakukan melalui jalur Idi – Medan – Lumut, maka gross profit hanya antara 8 – 15%. Artinya, jelas bahwa ekspor dari Idi lebih menguntungkan dibandingkan dengan ekspor melalui Medan. Disamping itu, terdapat keuntungan lain jika kegiatan ekspor ikan tersebut dapat dilakukan di Idi, misalnya menampung/membuka lapangan kerja baru dan multiplier efek lainnya.

Berdasarkan data yang ada di PNNPk, bahwa saat ini ada paling kurang 10 orang nelayan Aceh yang mengekport ikan ke Pelabuhan Lumut melalui Belawan, walaupun masih dalam jumlah terbatas. Mereka tersebar di beberapa wilayah Aceh, yaitu : Melaboh, Blang Pidie, Singkil, Simeulu, Labuhan haji, Abdya, Panton labu, Tamiang, Langsa, Idi cut. Hasil ekspor (pengiriman) ikan tersebut langsung ditransfer ke rekening mereka melalui jasa Perniagaan Mekoda, dengan Fee R 10 – R 20 /pengiriman.

Hal lain yang menjadi kekuatan adalah, rencana ekspor ikan dari Idi – Lumut, mendapat dukungan penuh dari Pengurus PNNPk. Jika hal ini terealisasi, maka lembaga PNNPk berjanji akan melakukan negosiasi dengan Lembaga Kemajuan Ikan Malaysia (LKIM) untuk mengurasi fee/cash untuk mereka (LKIM), yang biasa ditetapkan R 5 dari total biaya ekspor ikan dari Belawan – Lumut, yaitu sebesar R 53 per fiber ikan. Hasil negosiasi ini akan disubsidi kepada investor pelaku ekspor untuk menutupi kelebihan biaya karena masa tempuh Idi – Lumut (yaitu 18 jam) lebih tinggi 4 jam dibandingkan Belawan – Lumut, yang hanya 14 jam. Disamping itu, PNNPk akan merekomendasikan pengurusan licensi ekspor import bagi real busnessman Aceh.

Beberapa kelemahan (persoalan) yang dihadapi adalah (1) adakah real busnessman (bukan agen) yang ingin melakukan ekspor ikan di Aceh? (2) sejauh ini PPP Idi belum siap menjadi pelabuhan ekspor, karena beberapa hal, yaitu kuala masih dangkal (perlu pengerukan) sehingga pada saat tertentu (surut) kapal besar tidak bisa merapat, belum tersedia sarana perikanan yang memadai seperti cold storage, pabrik es, bengkel, dan sanitasi pelabuhan, (3) nelayan Aceh (Idi) umumnya sudah terikat jasa dengan toke-toke Medan melalui bantuan baik biaya investasi maupun operasional, sehingga bargaining position mereka menjadi lemah, (4) dewasa ini, jenis ikan yang banyak diekspor dari Belawan adalah ikan-ikan domersal (ikan karang), dan di Aceh ikan jenis ini banyak terdapat di Pantai Barat Aceh.

Terkait dengan kemungkin ekspor melalui Pelabuhan Pulau Penang, sejauh ini LKIM tidak melakukan impor ikan dari Belawan – Pulau Penang, karena selain jarak tempuh yang lebih jauh, juga distribusi di pelabuhan impor juga menjadi lebih jauh. Sebab menurut mereka ikan-ikan tersebut selain didistribusi di Kuala Lumpur juga didistribusikan hingga ke Singapura.

Minggu, 27 Maret 2011

HUTAN MANGROVE NAD DAN OPSI PENGELOLAAN KEDEPAN

Indra

Belum ada data yang konkrit tentang luas hutan mangrove di Aceh. Data yang ada bervariasi dan berbeda antara satu instansi/lembaga dengan yang lainnya. Menurut Departemen Kehutanan tahun 2004, seperti yang termuat dalam Buku II Blue Print Aceh pasca tsunami bahwa luasan hutan mangrove Propinsi NAD diperkirakan mencapai sekitar 346.838 ha, dengan rincian 296.078 ha terletak di Pantai Timur, 49.760 ha di Pantai Barat, dan 1.000 ha di Pulau Simeulue.

Wet Land Internasional memprediksikan berdasarkan RePPProT (1985 – 1989), luas hutan mangrove di Aceh semula mencapai 60.000 ha. Jumlah tersebut berkurang drastis menjadi sekitar 20.000 ha, sepertiga dari jumlah awal, pada periode 1986 – 1990 dan kini diperkirakan jumlah hutan mangrove sekitar 10.000 – 12.500 ha. Data ini berbeda jauh dengan data Dephut yang digunakan Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh-Nias saat ini, luasnya mencapai 168.840 ha dengan akumulasi kerusakan sebelum dan sesudah tsunami 105.260 ha. FAO memprediksikan jumlah hutan mangrove di NAD tahun 2003 adalah 44.126,50 ha sedangkan DKP-NAD memprediksikan 23.358,20 ha.

Kedua sumber data di atas terlihat sangat bervariasi, namun secara umum dapat disimpulkan bahwa hutan mangrove di Pantai Timur jauh lebih luas dibandingkan dengan hutan mangrove di Pantai Barat. Hal ini ada hubungannya dengan type pantai dari kedua wilayah ini, dimana pantai timur lebih landai dibandingkan dengan pantai barat. Diperkirakan sekitar 85 persen dari luas hutan mangrove yang ada di Aceh berada di sepanjang pesisir Pantai Timur Aceh, sisanya 15 persen berada di Pantai Barat dan Pulau Simeulue. Jenis mangrove yang tumbuh di Pantai Timur Aceh adalah Avicennia, spp dan Rhizophora mucronata, sedangkan di Pantai Barat adalah Nypha fruticans dan tanaman hutan pantai lainnya dan di Pulau Simeulue adalah jenis Rhizophora apiculata. Namun yang dominan di kedua pantai di Aceh adalah Rhizophora apiculata dan Avicennia marina.

Akibat gempa bumi dan tsunami 26 Desember 2004, hampir 100 persen hutan mangrove di Pantai Barat Aceh mengalami rusak total, terutama mangrove yang berada di Kota Banda Aceh dan Kabupaten Aceh Besar. Total luas mangrove di kedua kabupaten/kota ini diperkirakan mencapai 27.000 ha. Sedangkan untuk Pantai Timur Aceh, yang dimulai dari Kabupaten Pidie, Bireuen, sampai Aceh Tamiang, mengalami kerusakan yang bervariasi. Secara umum, semakin ke arah timur tingkat kerusakan semakin ringan. Untuk Kabupaten Pidie, diperkirakan tingkat kerusakan hutan mangrove sekitar 75 persen, Bireuen, Kota Lhokseumawe dan Aceh Utara mencapai 30 persen, sedangkan Aceh Timur, Kota Langsa, dan Tamiang relatif tidak rusak.

Jika luas kerusakan hutan mangrove 105.260 ha, seperti yang dilaporkan DEPHUT, maka ke depan memerlukan sumber daya yang cukup besar dan kerja keras untuk mengembalikan hutan mangrove yang rusak tersebut. Bahkan Aceh dengan panjang garis pantai sekitar 2.467 km memerlukan hutan mangrove lebih dari 200.000 ha sebagai buffer zone atau greenbelt yang berfungsi untuk mencegah erosi dan abrasi serta mengurangi energi gelombang. Untuk itu, pemerintah, NGOs, dan lembaga donor lainnya telah melakukan penanaman kembali areal mangrove yang rusak karena tsunami, namun hasil pemantauan di lapangan menunjukkan bahwa survival rate penanaman mangrove sangat rendah, diperkirakan kurang dari 50 persen.

Rendahnya tingkat tumbuh mangrove ini disebabkan cara penanaman mangrove yang dilakukan tidak memenuhi standar atau persyaratan teknis. Umumnya jenis mangrove yang telah ditanam kembali pasca tsunami adalah Rhizophora mucronata (yang disebut bakau) dengan jarak tanam yang sangat rapat (sekitar 30 – 50 cm). Bibit mangrove ditanam oleh masyarakat setempat dengan sistem upah per batang (cash for work). Mereka tidak mempunyai pengetahuan yang memadai untuk menanam dan merawat mangrove. Padahal, secara teoritis setiap jenis mangrove membutuhkan persyaratan teknis yang berbeda antara satu dan lainnya, misalnya persyaratan unsur hara, tekstur tanah, salinitas air, ketahanan terhadap gelombang, dan lain-lain. Apalagi kondisi lahan di Aceh yang dipercayai sudah mengalami banyak perubahan akibat tsunami. Akibatnya, suatu spesies mangrove yang tumbuh baik di suatu darah sebelum tsunami, maka setelah tsunami belum tentu jenis yang sama akan cocok/sesuai ditanam kembali, perlu ada analisis awal tentang kesesuian lahan.

Belajar dari kegagalan masa lalu dimana tingkat keberhasilan (survival rate) penanaman mangrove yang cukup rendah, maka kedepan perlu adanya penanaman dan pengelolaan mangrove yang terorganisir. Untuk itu, perlu dibentuk formulasi perencanaan manajemen mangrove (Mangrove Management Plan). Perencanaan manajemen ini termasuk penilaian secara sistematis dan komperehensif dari luas area hutan mangrove yang rusak karena gelombang tsunami dan mengidentifikasi luas area yang dibutuhkan dan cocok untuk penanaman kembali mangrove. Semua ini harus mempertimbangkan faktor-faktor biologi (lingkungan) dan sosial ekonomi yang mungkin mempengaruhi pemanfaatan mangrove ke depan dan pembangunan suatu konsep untuk menilai spesies yang paling cocok untuk ditanami kembali. Pemilihan spesies harus didasarkan pada penelitian kesesuaian lahan, keuntungan ekonomi, dan kesesuaian lingkungan jangka panjang.

Untuk mewujudkan tahapan di atas, diperlukan suatu Pusat Rehabilitasi Mangrove (Pusat Remang). Selanjutnya dibentuk suatu network pusat capacity building di sepanjang pantai untuk membantu sosialisasi dan pengawasan program-program yang akan dibuat. Lembaga harus dikenal luas oleh masyarakat dan harus sukses dalam jangka panjang. Beberapa tugas pokok dari Pusat Remang adalah (1) meningkatkan akses informasi kepada masyarakat tentang pentingnya rehabilitasi mangrove, (2) untuk melakukan training dalam usaha penanaman mangrove, (3) menyediakan informasi dalam opsi-opsi pemanfaatan hutan mangrove ke depan, dan (4) mengadakan pelatihan menyangkut pengusahaan bibit mangrove, rehabilitasi mangrove, reklamasi lahan yang terintrusi garam tinggi, dan manajemen pengelolaan sumber daya.

Menurut beberapa penelitian bahwa tekstur tanah di Pantai Timur Aceh adalah berpasir (sand), liat (loam), dan liat berlumpur (silt loam), jenis mangrove yang dianjurkan adalah Avicennia marina, Avicennia lanata, Avicennia alba, Rhizophora mucronata. Sedangkan di Pantai Barat tekstur tanahnya adalah berpasir (sand), liat (loam), liat berpasir (sandy loam), jenis mangrove yang dianjurkan adalah Rhizophora stylosa, Rhizophora apiculata, Sonneratia alba, Aegiceras floridum, dan Phemphis acidula (cantigo). Selain itu, jenis Nypha fruticans yang tumbuh lebih kearah daratan juga cocok ditanami, khususnya di Pantai Barat Aceh. Lebih jauh dikatakan bahwa lahan potensial untuk penanaman mangrove di Aceh pasca tsunami adalah 447.061 ha, yang terdiri dari 297.464 ha di lahan kahayan (KHY), 61.888 ha di lahan kajapah (KJP), dan 87.709 ha di lahan puting (PTG).

Selasa, 15 Maret 2011

Lesson Learnt Bantuan Livelihood Pasca Tsunami Aceh : Kasus Nelayan

Secara umum, harus diakui bahwa berbagai bantuan pasca tsunami di Aceh, baik untuk nelayan tangkat maupun budidaya, telah memberi dampak positif dan manfaat sosial ekonomi bagi para nelayan, misalnya: (a) Dengan bantuan boat/kapal dan alat tangkap, para nelayan miskin telah mempunyai boat/kapal dan alat tangkap baru. Dengan demikian mereka dapat kembali menangkap ikan di laut seperti halnya sebelum tsunami, (b) Melalui program bantuan rehab tambak, sebagian besar tambak di daerah penelitian sudah diperbaiki atau direhabilitasi sehingga para petani tambak sudah dapat kembali melakukan usaha budidaya udang dan ikan sebagaimana kegiatan ini dilakukan ketika sebelum tsunami. Walaupun, hingga saat ini masih tersisa sekitar 44,4 ha tambak di daerah penelitian (Desa Lamnga) belum direhabilitasi. Hal ini disinyalir berkaitan dengan letak lahan tambak yang terlalu dekat dengan bibir pantai sehingga bertentangan dengan ketentuan pemerintah tentang larangan membangun/mengrehab tambak yang berlokasi dekat bibir pantai atau daerah pasang surut. Disamping itu, para pelaksana program keberatan merehabilitasi tambak yang dekat dengan pantai karena alasan teknis, yaitu sulit memobilisasi alat berat dan sukar membuat atau membentuk pematang tambak dari tanah dominan berpasir dan juga mudah rubuh diterpa hujan dan ombak pasang surut.

Kenyataan menunjukkan bahwa tidak semua program rehabilitasi di atas berjalan efesien dan efektif di lapangan seperti yang direncanakan oleh para donatur dan pelaksana program. Beberapa jenis bantuan tidak memberikan dampak (manfaat) yang signifikan bagi para nelayan dan petani tambak dalam memperbaiki mata pencaharian dan pendapatan mereka. Hal ini disebabkan: (1) beberapa bantuan boat/kapal terbuat dari fiber, yang tidak sesuai dengan kondisi alam (laut) setempat, (2) bantuan boat/kapal dan alat tangkap yang tidak sesuai spesifikasi standar para nelayan setempat, terutama kualitas kayu kapal yang sangat rendah sehingga cepat rusak/bocor, (3) seringkali bantuan bahan dan alat tersebut yang sifatnya komplementer (seperti boat/kapal dan alat tangkap) tidak diberikan dalam satu paket secara bersamaan, tetapi diberikan secara terpisah dari program yang berbeda, donatur berbeda, dan pada waktu yang berbeda pula, (4) seringkali jumlah paket bantuan yang diberikan lebih sedikit dari jumlah penerima bantuan, sehingga untuk mencegah konflik dalam masyarakat, maka paket tersebut dipecah lagi (dibagi sama rata) kepada seluruh penerima bantuan dengan jumlah yang lebih sedikit. Akibatnya, nilai manfaat dari bantuan tersebut menjadi berkurang dan bahkan pada beberapa kasus bantuan tersebut tidak lagi digunakan untuk usaha produktif, akan tetapi disalahgunakan untuk kebutuhan sehari-hari (konsumtif).

Bila dilihat lebih jauh, maka akar permasalahan dari kondisi di atas ada pada donatur, pelaksana program, dan penerima program (nelayan). Ketiga hal tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:



  1. Seringkali donatur dan pelaksana program kurang tepat dalam melakukan assesment untuk memetakan potensi wilayah (alam) dan karakteristik sosial budaya masyarakat penerima bantuan.

  2. Ada kesan di masyarakat bahwa pelaksana proyek (LSM/NGOs) kurang profesional, lebih mengutamakan target kegiatan dengan tanpa memperhatikan kualitas pekerjaan, sehingga banyak kegiatan di lapangan dilaksanakan secara asal-asalan dan tidak usefull.

  3. Seringkali kapasitas tenaga pendamping yang ditempatkan di lokasi proyek sangat rendah dan tidak jujur, sehingga banyak terjadi penyelewengan anggaran dan atau pekerjaan untuk mencari keuntungan pribadi atau kelompok.

  4. Sebagian penerima manfaat (masyarakat) juga tidak jujur, serakah, dan mementingkan diri sendiri, sehingga menghalalkan segala cara demi untuk mendapatkan bantuan yang lebih banyak dan lebih baik.

  5. Terbentuknya mental meminta dan menerima dari masyarakat yang pada akhirnya menjadi malas bekerja dan berusaha.

Sabtu, 14 Maret 2009

INTERAKSI MANGROVE DAN SUMBERDAYA IKAN

Indra

Beberapa teori menyatakan bahwa ada hubungan positif antara ekosistem mangrove dengan produksi perikanan tangkap. Pemikiran tersebut didasarkan pada fungsi hutan mangrove yang antara lain adalah sebagai daerah asuhan (nursery ground), mencari makan (feeding ground), pemijahan (spawning ground) berbagai biota perairan seperti ikan, udang, dan kerang. Ada hubungan yang menarik antara keberadaan hutan mangrove dengan biota perairan dalam coastal zone dan ikan pelagis besar di laut lepas yaitu melalui jalur rantai makanan (predator – prey), seperti terlihat pada Gambar 1.

Konsep predator – prey pertama sekali dipelopori secara terpisah oleh ahli kimia fisika dari Amerika yang bernama Lotka (1925) dan ahli matematik dari Itali Volterra (1926). Konsep ini kemudian dikenal dengan model Lotka Volterra. Pada Tahun 1926, Volterra pertama menggunakan model ini untuk menjelaskan tingkat osilasi penangkapan ikan tertentu di Adriatic.

Secara konkrit, konsep Lotka Volterra ini pernah diterapkan pada perikanan di Italia setelah Perang Dunia II. Ketika itu masyarakat Itali ramai-ramai menangkap ikan pelagis kecil yang ada di sekitar perairan pesisir. Karena input atau effort yang cukup tinggi, sehingga lama-kelamaan terjadi tangkap lebih (overfishing) dan degradasi sumber daya ikan di tempat tersebut. Setelah setahun kemudian, ternyata hasil tangkapan pelagis besar dari laut lepas mengalami penurunan secara signifikan. Setelah diteliti diketahui bahwa ada hubungan rantai makanan antara pelagis kecil yang ada di perairan pesisir dan pelagis besar yang ada di laut lepas. Karena ketersediaan pelagis kecil (sebagai prey) telah terdegradasi akibat overfishing, maka ikan pelagis besar (sebagai predator) kekurangan makan, sehingga mereka pindah (migrasi) ke tempat lainnya yang masih tersedia cukup makanan.

Ekosistem mangrove di Provinsi NAD adalah sebagai tempat habitat berbagai macam ikan, crustacean, mollusca, dan burung serta mendukung kehidupan reptile dan mamalia. Masyarakat percaya bahwa akar mangrove dapat berperan dalam melindungi ikan kecil dari pemangsa. Ketika ikan menjadi dewasa, mereka meninggalkan payau dan pindah ke estuaria, karang, dan laut lepas. Ikan utama yang dapat ditangkap di ekosistem mangrove sepanjang pesisir Aceh adalah pelagis kecil, udang, kerapu, kakap, teri, bandeng, dan lain-lain.

Untuk melihat interaksi ini digunakan Model Fozal (2005). Pada dasarnya model ini diturunkan dari kurva yield-effort model logistik, yaitu dengan memasukkan variabel hutan mangrove pada daya dukung lingkungan (carrying capacity). Data yang digunakan adalah data time series selama 21 tahun (1984 – 2004) dari produksi udang dan beberapa jenis pelagis kecil yang ditangkap dengan alat tangkap pukat pantai, payang, dan jaring klitik. Hasil pengujian menunjukkan bahwa ada interaksi positif antara keberadaan hutan mangrove dengan produksi perikanan tangkap, khususnya udang dan pelagis kecil, sebesar 27,21%. Artinya 27,21% produksi udang dan pelagis kecil di Provinsi NAD dikontribusikan oleh adanya ekosistem mangrove. Hal ini menunjukkan bahwa peran ekosistem mangrove cukup penting dalam menentukan tinggi rendahnya produksi perikanan tangkap.

Penelitian yang sama dilakukan oleh Efrizal tahun 2005 menunjukkan bahwa ekosistem mangrove memberikan kontribusi 44,18 % terhadap produksi sumber daya ikan demersal di Kabupaten Bengkalis, Riau. Penelitian lainnya yang dilakukan oleh Paw and Chua tahun 1989 menyimpulkan bahwa ada hubungan positif antara luas area mangrove dengan penangkapan udang penaeidae di Philipina. Martusobroto dan Naamin tahun 1979 menyatakan bahwa ada hubungan positif antara hasil tangkapan udang tahunan dan luas mangrove di seluruh Indonesia. Penelitian Sudarmono tahun 2005 menyatakan bahwa sekitar 30 persen produksi perikanan laut tergantung pada eksistensi hutan mangrove, karena kawasan mangrove menjadi tempat perkembangbiakan berbagai biota laut, termasuk beberapa jenis ikan tertentu. Daun mangrove yang jatuh menjadi detritus yang dapat menambah kesuburan kawasan sehingga menjadikan tempat ini disukai oleh biota laut tersebut dan menjadikannya sebagai tempat bertelur, memelihara larva, dan tempat mencari makan bagi berbagai spesies akuatik, khususnya udang penaeidae dan ikan banding.

Menyadari pentingnya hutan mangrove bagi pertumbuhan ikan dan berbagai biota laut lainnya, maka rehabilitasi mangrove di Provinsi NAD harus dilakukan dengan sungguh-sungguh. Jika tidak, ketersediaan stok ikan di perairan Aceh akan semakin memprihatinkan. Sebagai konsekuensinya, para nelayan kecil yang menangkap ikan di sekitar perairan pantai dengan menggunakan boat atau perahu kecil akan semakin sulit mendapatkan hasil yang memadai. Kondisi ini tentu akan mempengaruhi penghasilan dan kesejahteraan mereka.