Minggu, 27 Maret 2011

HUTAN MANGROVE NAD DAN OPSI PENGELOLAAN KEDEPAN

Indra

Belum ada data yang konkrit tentang luas hutan mangrove di Aceh. Data yang ada bervariasi dan berbeda antara satu instansi/lembaga dengan yang lainnya. Menurut Departemen Kehutanan tahun 2004, seperti yang termuat dalam Buku II Blue Print Aceh pasca tsunami bahwa luasan hutan mangrove Propinsi NAD diperkirakan mencapai sekitar 346.838 ha, dengan rincian 296.078 ha terletak di Pantai Timur, 49.760 ha di Pantai Barat, dan 1.000 ha di Pulau Simeulue.

Wet Land Internasional memprediksikan berdasarkan RePPProT (1985 – 1989), luas hutan mangrove di Aceh semula mencapai 60.000 ha. Jumlah tersebut berkurang drastis menjadi sekitar 20.000 ha, sepertiga dari jumlah awal, pada periode 1986 – 1990 dan kini diperkirakan jumlah hutan mangrove sekitar 10.000 – 12.500 ha. Data ini berbeda jauh dengan data Dephut yang digunakan Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh-Nias saat ini, luasnya mencapai 168.840 ha dengan akumulasi kerusakan sebelum dan sesudah tsunami 105.260 ha. FAO memprediksikan jumlah hutan mangrove di NAD tahun 2003 adalah 44.126,50 ha sedangkan DKP-NAD memprediksikan 23.358,20 ha.

Kedua sumber data di atas terlihat sangat bervariasi, namun secara umum dapat disimpulkan bahwa hutan mangrove di Pantai Timur jauh lebih luas dibandingkan dengan hutan mangrove di Pantai Barat. Hal ini ada hubungannya dengan type pantai dari kedua wilayah ini, dimana pantai timur lebih landai dibandingkan dengan pantai barat. Diperkirakan sekitar 85 persen dari luas hutan mangrove yang ada di Aceh berada di sepanjang pesisir Pantai Timur Aceh, sisanya 15 persen berada di Pantai Barat dan Pulau Simeulue. Jenis mangrove yang tumbuh di Pantai Timur Aceh adalah Avicennia, spp dan Rhizophora mucronata, sedangkan di Pantai Barat adalah Nypha fruticans dan tanaman hutan pantai lainnya dan di Pulau Simeulue adalah jenis Rhizophora apiculata. Namun yang dominan di kedua pantai di Aceh adalah Rhizophora apiculata dan Avicennia marina.

Akibat gempa bumi dan tsunami 26 Desember 2004, hampir 100 persen hutan mangrove di Pantai Barat Aceh mengalami rusak total, terutama mangrove yang berada di Kota Banda Aceh dan Kabupaten Aceh Besar. Total luas mangrove di kedua kabupaten/kota ini diperkirakan mencapai 27.000 ha. Sedangkan untuk Pantai Timur Aceh, yang dimulai dari Kabupaten Pidie, Bireuen, sampai Aceh Tamiang, mengalami kerusakan yang bervariasi. Secara umum, semakin ke arah timur tingkat kerusakan semakin ringan. Untuk Kabupaten Pidie, diperkirakan tingkat kerusakan hutan mangrove sekitar 75 persen, Bireuen, Kota Lhokseumawe dan Aceh Utara mencapai 30 persen, sedangkan Aceh Timur, Kota Langsa, dan Tamiang relatif tidak rusak.

Jika luas kerusakan hutan mangrove 105.260 ha, seperti yang dilaporkan DEPHUT, maka ke depan memerlukan sumber daya yang cukup besar dan kerja keras untuk mengembalikan hutan mangrove yang rusak tersebut. Bahkan Aceh dengan panjang garis pantai sekitar 2.467 km memerlukan hutan mangrove lebih dari 200.000 ha sebagai buffer zone atau greenbelt yang berfungsi untuk mencegah erosi dan abrasi serta mengurangi energi gelombang. Untuk itu, pemerintah, NGOs, dan lembaga donor lainnya telah melakukan penanaman kembali areal mangrove yang rusak karena tsunami, namun hasil pemantauan di lapangan menunjukkan bahwa survival rate penanaman mangrove sangat rendah, diperkirakan kurang dari 50 persen.

Rendahnya tingkat tumbuh mangrove ini disebabkan cara penanaman mangrove yang dilakukan tidak memenuhi standar atau persyaratan teknis. Umumnya jenis mangrove yang telah ditanam kembali pasca tsunami adalah Rhizophora mucronata (yang disebut bakau) dengan jarak tanam yang sangat rapat (sekitar 30 – 50 cm). Bibit mangrove ditanam oleh masyarakat setempat dengan sistem upah per batang (cash for work). Mereka tidak mempunyai pengetahuan yang memadai untuk menanam dan merawat mangrove. Padahal, secara teoritis setiap jenis mangrove membutuhkan persyaratan teknis yang berbeda antara satu dan lainnya, misalnya persyaratan unsur hara, tekstur tanah, salinitas air, ketahanan terhadap gelombang, dan lain-lain. Apalagi kondisi lahan di Aceh yang dipercayai sudah mengalami banyak perubahan akibat tsunami. Akibatnya, suatu spesies mangrove yang tumbuh baik di suatu darah sebelum tsunami, maka setelah tsunami belum tentu jenis yang sama akan cocok/sesuai ditanam kembali, perlu ada analisis awal tentang kesesuian lahan.

Belajar dari kegagalan masa lalu dimana tingkat keberhasilan (survival rate) penanaman mangrove yang cukup rendah, maka kedepan perlu adanya penanaman dan pengelolaan mangrove yang terorganisir. Untuk itu, perlu dibentuk formulasi perencanaan manajemen mangrove (Mangrove Management Plan). Perencanaan manajemen ini termasuk penilaian secara sistematis dan komperehensif dari luas area hutan mangrove yang rusak karena gelombang tsunami dan mengidentifikasi luas area yang dibutuhkan dan cocok untuk penanaman kembali mangrove. Semua ini harus mempertimbangkan faktor-faktor biologi (lingkungan) dan sosial ekonomi yang mungkin mempengaruhi pemanfaatan mangrove ke depan dan pembangunan suatu konsep untuk menilai spesies yang paling cocok untuk ditanami kembali. Pemilihan spesies harus didasarkan pada penelitian kesesuaian lahan, keuntungan ekonomi, dan kesesuaian lingkungan jangka panjang.

Untuk mewujudkan tahapan di atas, diperlukan suatu Pusat Rehabilitasi Mangrove (Pusat Remang). Selanjutnya dibentuk suatu network pusat capacity building di sepanjang pantai untuk membantu sosialisasi dan pengawasan program-program yang akan dibuat. Lembaga harus dikenal luas oleh masyarakat dan harus sukses dalam jangka panjang. Beberapa tugas pokok dari Pusat Remang adalah (1) meningkatkan akses informasi kepada masyarakat tentang pentingnya rehabilitasi mangrove, (2) untuk melakukan training dalam usaha penanaman mangrove, (3) menyediakan informasi dalam opsi-opsi pemanfaatan hutan mangrove ke depan, dan (4) mengadakan pelatihan menyangkut pengusahaan bibit mangrove, rehabilitasi mangrove, reklamasi lahan yang terintrusi garam tinggi, dan manajemen pengelolaan sumber daya.

Menurut beberapa penelitian bahwa tekstur tanah di Pantai Timur Aceh adalah berpasir (sand), liat (loam), dan liat berlumpur (silt loam), jenis mangrove yang dianjurkan adalah Avicennia marina, Avicennia lanata, Avicennia alba, Rhizophora mucronata. Sedangkan di Pantai Barat tekstur tanahnya adalah berpasir (sand), liat (loam), liat berpasir (sandy loam), jenis mangrove yang dianjurkan adalah Rhizophora stylosa, Rhizophora apiculata, Sonneratia alba, Aegiceras floridum, dan Phemphis acidula (cantigo). Selain itu, jenis Nypha fruticans yang tumbuh lebih kearah daratan juga cocok ditanami, khususnya di Pantai Barat Aceh. Lebih jauh dikatakan bahwa lahan potensial untuk penanaman mangrove di Aceh pasca tsunami adalah 447.061 ha, yang terdiri dari 297.464 ha di lahan kahayan (KHY), 61.888 ha di lahan kajapah (KJP), dan 87.709 ha di lahan puting (PTG).

Selasa, 15 Maret 2011

Lesson Learnt Bantuan Livelihood Pasca Tsunami Aceh : Kasus Nelayan

Secara umum, harus diakui bahwa berbagai bantuan pasca tsunami di Aceh, baik untuk nelayan tangkat maupun budidaya, telah memberi dampak positif dan manfaat sosial ekonomi bagi para nelayan, misalnya: (a) Dengan bantuan boat/kapal dan alat tangkap, para nelayan miskin telah mempunyai boat/kapal dan alat tangkap baru. Dengan demikian mereka dapat kembali menangkap ikan di laut seperti halnya sebelum tsunami, (b) Melalui program bantuan rehab tambak, sebagian besar tambak di daerah penelitian sudah diperbaiki atau direhabilitasi sehingga para petani tambak sudah dapat kembali melakukan usaha budidaya udang dan ikan sebagaimana kegiatan ini dilakukan ketika sebelum tsunami. Walaupun, hingga saat ini masih tersisa sekitar 44,4 ha tambak di daerah penelitian (Desa Lamnga) belum direhabilitasi. Hal ini disinyalir berkaitan dengan letak lahan tambak yang terlalu dekat dengan bibir pantai sehingga bertentangan dengan ketentuan pemerintah tentang larangan membangun/mengrehab tambak yang berlokasi dekat bibir pantai atau daerah pasang surut. Disamping itu, para pelaksana program keberatan merehabilitasi tambak yang dekat dengan pantai karena alasan teknis, yaitu sulit memobilisasi alat berat dan sukar membuat atau membentuk pematang tambak dari tanah dominan berpasir dan juga mudah rubuh diterpa hujan dan ombak pasang surut.

Kenyataan menunjukkan bahwa tidak semua program rehabilitasi di atas berjalan efesien dan efektif di lapangan seperti yang direncanakan oleh para donatur dan pelaksana program. Beberapa jenis bantuan tidak memberikan dampak (manfaat) yang signifikan bagi para nelayan dan petani tambak dalam memperbaiki mata pencaharian dan pendapatan mereka. Hal ini disebabkan: (1) beberapa bantuan boat/kapal terbuat dari fiber, yang tidak sesuai dengan kondisi alam (laut) setempat, (2) bantuan boat/kapal dan alat tangkap yang tidak sesuai spesifikasi standar para nelayan setempat, terutama kualitas kayu kapal yang sangat rendah sehingga cepat rusak/bocor, (3) seringkali bantuan bahan dan alat tersebut yang sifatnya komplementer (seperti boat/kapal dan alat tangkap) tidak diberikan dalam satu paket secara bersamaan, tetapi diberikan secara terpisah dari program yang berbeda, donatur berbeda, dan pada waktu yang berbeda pula, (4) seringkali jumlah paket bantuan yang diberikan lebih sedikit dari jumlah penerima bantuan, sehingga untuk mencegah konflik dalam masyarakat, maka paket tersebut dipecah lagi (dibagi sama rata) kepada seluruh penerima bantuan dengan jumlah yang lebih sedikit. Akibatnya, nilai manfaat dari bantuan tersebut menjadi berkurang dan bahkan pada beberapa kasus bantuan tersebut tidak lagi digunakan untuk usaha produktif, akan tetapi disalahgunakan untuk kebutuhan sehari-hari (konsumtif).

Bila dilihat lebih jauh, maka akar permasalahan dari kondisi di atas ada pada donatur, pelaksana program, dan penerima program (nelayan). Ketiga hal tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:



  1. Seringkali donatur dan pelaksana program kurang tepat dalam melakukan assesment untuk memetakan potensi wilayah (alam) dan karakteristik sosial budaya masyarakat penerima bantuan.

  2. Ada kesan di masyarakat bahwa pelaksana proyek (LSM/NGOs) kurang profesional, lebih mengutamakan target kegiatan dengan tanpa memperhatikan kualitas pekerjaan, sehingga banyak kegiatan di lapangan dilaksanakan secara asal-asalan dan tidak usefull.

  3. Seringkali kapasitas tenaga pendamping yang ditempatkan di lokasi proyek sangat rendah dan tidak jujur, sehingga banyak terjadi penyelewengan anggaran dan atau pekerjaan untuk mencari keuntungan pribadi atau kelompok.

  4. Sebagian penerima manfaat (masyarakat) juga tidak jujur, serakah, dan mementingkan diri sendiri, sehingga menghalalkan segala cara demi untuk mendapatkan bantuan yang lebih banyak dan lebih baik.

  5. Terbentuknya mental meminta dan menerima dari masyarakat yang pada akhirnya menjadi malas bekerja dan berusaha.