Sabtu, 14 Maret 2009

INTERAKSI MANGROVE DAN SUMBERDAYA IKAN

Indra

Beberapa teori menyatakan bahwa ada hubungan positif antara ekosistem mangrove dengan produksi perikanan tangkap. Pemikiran tersebut didasarkan pada fungsi hutan mangrove yang antara lain adalah sebagai daerah asuhan (nursery ground), mencari makan (feeding ground), pemijahan (spawning ground) berbagai biota perairan seperti ikan, udang, dan kerang. Ada hubungan yang menarik antara keberadaan hutan mangrove dengan biota perairan dalam coastal zone dan ikan pelagis besar di laut lepas yaitu melalui jalur rantai makanan (predator – prey), seperti terlihat pada Gambar 1.

Konsep predator – prey pertama sekali dipelopori secara terpisah oleh ahli kimia fisika dari Amerika yang bernama Lotka (1925) dan ahli matematik dari Itali Volterra (1926). Konsep ini kemudian dikenal dengan model Lotka Volterra. Pada Tahun 1926, Volterra pertama menggunakan model ini untuk menjelaskan tingkat osilasi penangkapan ikan tertentu di Adriatic.

Secara konkrit, konsep Lotka Volterra ini pernah diterapkan pada perikanan di Italia setelah Perang Dunia II. Ketika itu masyarakat Itali ramai-ramai menangkap ikan pelagis kecil yang ada di sekitar perairan pesisir. Karena input atau effort yang cukup tinggi, sehingga lama-kelamaan terjadi tangkap lebih (overfishing) dan degradasi sumber daya ikan di tempat tersebut. Setelah setahun kemudian, ternyata hasil tangkapan pelagis besar dari laut lepas mengalami penurunan secara signifikan. Setelah diteliti diketahui bahwa ada hubungan rantai makanan antara pelagis kecil yang ada di perairan pesisir dan pelagis besar yang ada di laut lepas. Karena ketersediaan pelagis kecil (sebagai prey) telah terdegradasi akibat overfishing, maka ikan pelagis besar (sebagai predator) kekurangan makan, sehingga mereka pindah (migrasi) ke tempat lainnya yang masih tersedia cukup makanan.

Ekosistem mangrove di Provinsi NAD adalah sebagai tempat habitat berbagai macam ikan, crustacean, mollusca, dan burung serta mendukung kehidupan reptile dan mamalia. Masyarakat percaya bahwa akar mangrove dapat berperan dalam melindungi ikan kecil dari pemangsa. Ketika ikan menjadi dewasa, mereka meninggalkan payau dan pindah ke estuaria, karang, dan laut lepas. Ikan utama yang dapat ditangkap di ekosistem mangrove sepanjang pesisir Aceh adalah pelagis kecil, udang, kerapu, kakap, teri, bandeng, dan lain-lain.

Untuk melihat interaksi ini digunakan Model Fozal (2005). Pada dasarnya model ini diturunkan dari kurva yield-effort model logistik, yaitu dengan memasukkan variabel hutan mangrove pada daya dukung lingkungan (carrying capacity). Data yang digunakan adalah data time series selama 21 tahun (1984 – 2004) dari produksi udang dan beberapa jenis pelagis kecil yang ditangkap dengan alat tangkap pukat pantai, payang, dan jaring klitik. Hasil pengujian menunjukkan bahwa ada interaksi positif antara keberadaan hutan mangrove dengan produksi perikanan tangkap, khususnya udang dan pelagis kecil, sebesar 27,21%. Artinya 27,21% produksi udang dan pelagis kecil di Provinsi NAD dikontribusikan oleh adanya ekosistem mangrove. Hal ini menunjukkan bahwa peran ekosistem mangrove cukup penting dalam menentukan tinggi rendahnya produksi perikanan tangkap.

Penelitian yang sama dilakukan oleh Efrizal tahun 2005 menunjukkan bahwa ekosistem mangrove memberikan kontribusi 44,18 % terhadap produksi sumber daya ikan demersal di Kabupaten Bengkalis, Riau. Penelitian lainnya yang dilakukan oleh Paw and Chua tahun 1989 menyimpulkan bahwa ada hubungan positif antara luas area mangrove dengan penangkapan udang penaeidae di Philipina. Martusobroto dan Naamin tahun 1979 menyatakan bahwa ada hubungan positif antara hasil tangkapan udang tahunan dan luas mangrove di seluruh Indonesia. Penelitian Sudarmono tahun 2005 menyatakan bahwa sekitar 30 persen produksi perikanan laut tergantung pada eksistensi hutan mangrove, karena kawasan mangrove menjadi tempat perkembangbiakan berbagai biota laut, termasuk beberapa jenis ikan tertentu. Daun mangrove yang jatuh menjadi detritus yang dapat menambah kesuburan kawasan sehingga menjadikan tempat ini disukai oleh biota laut tersebut dan menjadikannya sebagai tempat bertelur, memelihara larva, dan tempat mencari makan bagi berbagai spesies akuatik, khususnya udang penaeidae dan ikan banding.

Menyadari pentingnya hutan mangrove bagi pertumbuhan ikan dan berbagai biota laut lainnya, maka rehabilitasi mangrove di Provinsi NAD harus dilakukan dengan sungguh-sungguh. Jika tidak, ketersediaan stok ikan di perairan Aceh akan semakin memprihatinkan. Sebagai konsekuensinya, para nelayan kecil yang menangkap ikan di sekitar perairan pantai dengan menggunakan boat atau perahu kecil akan semakin sulit mendapatkan hasil yang memadai. Kondisi ini tentu akan mempengaruhi penghasilan dan kesejahteraan mereka.