EKONOMI SUMBERDAYA
BLOK INI BERISI ARTIKEL-ARTIKEL DAN LAIN-LAIN BERKAITAN DENGAN EKONOMI SUMBERDAYA
Senin, 09 April 2012
Strategi Survival Masyarakat Pasca Bencana di Aceh
Rabu, 22 Februari 2012
CATATAN SINGKAT SURVEY PELUANG EKSPOR IKAN ACEH – MALAYSIA
Oleh : Indra (email: indra_ipb@yahoo.com)
Rata-rata jumlah pendaratan ikan di PPP Idi sekitar 30 ton/hari, lebih besar dari jumlah pendaratan ikan di PPS Lampulo, sekitar 20 ton/hari. Tahun 2009, jumlah armada yang beroperasi di PPP ini adalah 415 unit, yang terdiri dari 76 unit berkapasitas < 5 GT, 89 unit 5 – 10 GT, 106 unit 10 – 20 GT, 100 unit 20 – 30 GT dan 44 unit berkapasitas 30 – 50 GT. Jumlah alat tangkap adalah 486 unit, dengan rincian 89 unit jaring insang, 163 unit pancing, 71 unit mini puse seine, dan 163 unit purse seine. Jumlah nelayan adalah 6.739 orang, yang terdiri dari 6.594 orang merupakan nelayan buruh dan 145 orang nelayan pemilik. Jumlah hasil tangkapan, tahun 2009, adalah 10.895,99 ton, dengan jenis ikan dominan layang biru (Decapterrus macarellus), tongkol como (Euthynnus affinis), layang deles (Decapterrus macrosoma), albacora (Thunnus alalunga), lisong (Auxis rochei), tembang (Sardenella fimbriata), medidihang (Thunnus albacares), sunglir (Elagatis bipinnulatus), kembung (Rastrelliger brachysoma), dan cakalang (Katsuwonus pelamis). Dearah penangkapan ikan dilakukan di WPP Selat Malaka.
Ikan yang didaratkan di TPI Idi ini dipasarkan (1) pasar lokal, (2) pasar antar kabupaten (Kota Langsa, Aceh Tamiang, dll), dan (3) sebagian besar dibawa ke Medan. Di Medan, ikan-ikan tersebut ditampung oleh toke di Pasar Cemara atau langsung dibawa ke Belawan. Selanjutnya, disortir untuk dieksport ke Lumut Perak dan sisanya menjadi konsumsi lokal pasar Medan atau menjadi bahan baku industri ikan di Kawasan Industri Medan (KIM). Menurut Panglima Laot Idi, jumlah ikan yang dibawa ke Medan berkisar antara 7 – 9 truk perhari, dengan kapasitas tiap truk memuat 36 fiber ikan dan tiap fiber berisi 100 – 110 kg ikan. Artinya, ditinjau dari sumberdaya ikan sangat mungkin dilakukan ekspor ikan dari Idi – Lumut. Jumlah ini belum lagi dikomulasikan dengan hasil tangkapan di beberapa pelabuhan/TPI lainnya di seluruh Aceh, seperti PPS Lampulo Banda Aceh, PPI Pidie, Bireun, Lhokseumawe, Aceh Utara, Langsa, Aceh Tamiang, dan PPI lainnya di Pantai Barat Aceh. Menurut Pengurus Persatuan Nelayan Negeri Perak (PNNPk), Bapak Jamri dan Ahmad, bahwa sebagian besar ikan yang masuk ke Pelabuhan Lumut berasal dari ikan-ikan dari Provinsi Aceh yang diekspor melalui Belawan. Artinya, Aceh sangat potensial untuk melakukan ekspor ikan, tanpa melalui Belawan.
Biaya angkut dari Idi – Medan sebesar Rp 65.000/fiber, Langsa – Medan Rp 60.000/fiber, dan Banda Aceh – Medan Rp. 150.000/fiber. Hasil perhitungan menunjuk-kan bahwa (1) biaya transpor (Idi – Medan) mencapai 2 – 5 % dari harga atau penerimaan kotor penjualan ikan, dan (2) gross profit kegiatan ekspor ikan jalur Idi – Lumut adalah 10 – 20%. Namun, jika kegiatan ekspor dilakukan melalui jalur Idi – Medan – Lumut, maka gross profit hanya antara 8 – 15%. Artinya, jelas bahwa ekspor dari Idi lebih menguntungkan dibandingkan dengan ekspor melalui Medan. Disamping itu, terdapat keuntungan lain jika kegiatan ekspor ikan tersebut dapat dilakukan di Idi, misalnya menampung/membuka lapangan kerja baru dan multiplier efek lainnya.
Berdasarkan data yang ada di PNNPk, bahwa saat ini ada paling kurang 10 orang nelayan Aceh yang mengekport ikan ke Pelabuhan Lumut melalui Belawan, walaupun masih dalam jumlah terbatas. Mereka tersebar di beberapa wilayah Aceh, yaitu : Melaboh, Blang Pidie, Singkil, Simeulu, Labuhan haji, Abdya, Panton labu, Tamiang, Langsa, Idi cut. Hasil ekspor (pengiriman) ikan tersebut langsung ditransfer ke rekening mereka melalui jasa Perniagaan Mekoda, dengan Fee R 10 – R 20 /pengiriman.
Hal lain yang menjadi kekuatan adalah, rencana ekspor ikan dari Idi – Lumut, mendapat dukungan penuh dari Pengurus PNNPk. Jika hal ini terealisasi, maka lembaga PNNPk berjanji akan melakukan negosiasi dengan Lembaga Kemajuan Ikan Malaysia (LKIM) untuk mengurasi fee/cash untuk mereka (LKIM), yang biasa ditetapkan R 5 dari total biaya ekspor ikan dari Belawan – Lumut, yaitu sebesar R 53 per fiber ikan. Hasil negosiasi ini akan disubsidi kepada investor pelaku ekspor untuk menutupi kelebihan biaya karena masa tempuh Idi – Lumut (yaitu 18 jam) lebih tinggi 4 jam dibandingkan Belawan – Lumut, yang hanya 14 jam. Disamping itu, PNNPk akan merekomendasikan pengurusan licensi ekspor import bagi real busnessman Aceh.
Beberapa kelemahan (persoalan) yang dihadapi adalah (1) adakah real busnessman (bukan agen) yang ingin melakukan ekspor ikan di Aceh? (2) sejauh ini PPP Idi belum siap menjadi pelabuhan ekspor, karena beberapa hal, yaitu kuala masih dangkal (perlu pengerukan) sehingga pada saat tertentu (surut) kapal besar tidak bisa merapat, belum tersedia sarana perikanan yang memadai seperti cold storage, pabrik es, bengkel, dan sanitasi pelabuhan, (3) nelayan Aceh (Idi) umumnya sudah terikat jasa dengan toke-toke Medan melalui bantuan baik biaya investasi maupun operasional, sehingga bargaining position mereka menjadi lemah, (4) dewasa ini, jenis ikan yang banyak diekspor dari Belawan adalah ikan-ikan domersal (ikan karang), dan di Aceh ikan jenis ini banyak terdapat di Pantai Barat Aceh.
Terkait dengan kemungkin ekspor melalui Pelabuhan Pulau Penang, sejauh ini LKIM tidak melakukan impor ikan dari Belawan – Pulau Penang, karena selain jarak tempuh yang lebih jauh, juga distribusi di pelabuhan impor juga menjadi lebih jauh. Sebab menurut mereka ikan-ikan tersebut selain didistribusi di Kuala Lumpur juga didistribusikan hingga ke Singapura.
Minggu, 27 Maret 2011
HUTAN MANGROVE NAD DAN OPSI PENGELOLAAN KEDEPAN
Wet Land Internasional memprediksikan berdasarkan RePPProT (1985 – 1989), luas hutan mangrove di Aceh semula mencapai 60.000 ha. Jumlah tersebut berkurang drastis menjadi sekitar 20.000 ha, sepertiga dari jumlah awal, pada periode 1986 – 1990 dan kini diperkirakan jumlah hutan mangrove sekitar 10.000 – 12.500 ha. Data ini berbeda jauh dengan data Dephut yang digunakan Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh-Nias saat ini, luasnya mencapai 168.840 ha dengan akumulasi kerusakan sebelum dan sesudah tsunami 105.260 ha. FAO memprediksikan jumlah hutan mangrove di NAD tahun 2003 adalah 44.126,50 ha sedangkan DKP-NAD memprediksikan 23.358,20 ha.
Kedua sumber data di atas terlihat sangat bervariasi, namun secara umum dapat disimpulkan bahwa hutan mangrove di Pantai Timur jauh lebih luas dibandingkan dengan hutan mangrove di Pantai Barat. Hal ini ada hubungannya dengan type pantai dari kedua wilayah ini, dimana pantai timur lebih landai dibandingkan dengan pantai barat. Diperkirakan sekitar 85 persen dari luas hutan mangrove yang ada di Aceh berada di sepanjang pesisir Pantai Timur Aceh, sisanya 15 persen berada di Pantai Barat dan Pulau Simeulue. Jenis mangrove yang tumbuh di Pantai Timur Aceh adalah Avicennia, spp dan Rhizophora mucronata, sedangkan di Pantai Barat adalah Nypha fruticans dan tanaman hutan pantai lainnya dan di Pulau Simeulue adalah jenis Rhizophora apiculata. Namun yang dominan di kedua pantai di Aceh adalah Rhizophora apiculata dan Avicennia marina.
Selasa, 15 Maret 2011
Lesson Learnt Bantuan Livelihood Pasca Tsunami Aceh : Kasus Nelayan
Secara umum, harus diakui bahwa berbagai bantuan pasca tsunami di Aceh, baik untuk nelayan tangkat maupun budidaya, telah memberi dampak positif dan manfaat sosial ekonomi bagi para nelayan, misalnya: (a) Dengan bantuan boat/kapal dan alat tangkap, para nelayan miskin telah mempunyai boat/kapal dan alat tangkap baru. Dengan demikian mereka dapat kembali menangkap ikan di laut seperti halnya sebelum tsunami, (b) Melalui program bantuan rehab tambak, sebagian besar tambak di daerah penelitian sudah diperbaiki atau direhabilitasi sehingga para petani tambak sudah dapat kembali melakukan usaha budidaya udang dan ikan sebagaimana kegiatan ini dilakukan ketika sebelum tsunami. Walaupun, hingga saat ini masih tersisa sekitar 44,4 ha tambak di daerah penelitian (Desa Lamnga) belum direhabilitasi. Hal ini disinyalir berkaitan dengan letak lahan tambak yang terlalu dekat dengan bibir pantai sehingga bertentangan dengan ketentuan pemerintah tentang larangan membangun/mengrehab tambak yang berlokasi dekat bibir pantai atau daerah pasang surut. Disamping itu, para pelaksana program keberatan merehabilitasi tambak yang dekat dengan pantai karena alasan teknis, yaitu sulit memobilisasi alat berat dan sukar membuat atau membentuk pematang tambak dari tanah dominan berpasir dan juga mudah rubuh diterpa hujan dan ombak pasang surut.
Kenyataan menunjukkan bahwa tidak semua program rehabilitasi di atas berjalan efesien dan efektif di lapangan seperti yang direncanakan oleh para donatur dan pelaksana program. Beberapa jenis bantuan tidak memberikan dampak (manfaat) yang signifikan bagi para nelayan dan petani tambak dalam memperbaiki mata pencaharian dan pendapatan mereka. Hal ini disebabkan: (1) beberapa bantuan boat/kapal terbuat dari fiber, yang tidak sesuai dengan kondisi alam (laut) setempat, (2) bantuan boat/kapal dan alat tangkap yang tidak sesuai spesifikasi standar para nelayan setempat, terutama kualitas kayu kapal yang sangat rendah sehingga cepat rusak/bocor, (3) seringkali bantuan bahan dan alat tersebut yang sifatnya komplementer (seperti boat/kapal dan alat tangkap) tidak diberikan dalam satu paket secara bersamaan, tetapi diberikan secara terpisah dari program yang berbeda, donatur berbeda, dan pada waktu yang berbeda pula, (4) seringkali jumlah paket bantuan yang diberikan lebih sedikit dari jumlah penerima bantuan, sehingga untuk mencegah konflik dalam masyarakat, maka paket tersebut dipecah lagi (dibagi sama rata) kepada seluruh penerima bantuan dengan jumlah yang lebih sedikit. Akibatnya, nilai manfaat dari bantuan tersebut menjadi berkurang dan bahkan pada beberapa kasus bantuan tersebut tidak lagi digunakan untuk usaha produktif, akan tetapi disalahgunakan untuk kebutuhan sehari-hari (konsumtif).
Bila dilihat lebih jauh, maka akar permasalahan dari kondisi di atas ada pada donatur, pelaksana program, dan penerima program (nelayan). Ketiga hal tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
- Seringkali donatur dan pelaksana program kurang tepat dalam melakukan assesment untuk memetakan potensi wilayah (alam) dan karakteristik sosial budaya masyarakat penerima bantuan.
- Ada kesan di masyarakat bahwa pelaksana proyek (LSM/NGOs) kurang profesional, lebih mengutamakan target kegiatan dengan tanpa memperhatikan kualitas pekerjaan, sehingga banyak kegiatan di lapangan dilaksanakan secara asal-asalan dan tidak usefull.
- Seringkali kapasitas tenaga pendamping yang ditempatkan di lokasi proyek sangat rendah dan tidak jujur, sehingga banyak terjadi penyelewengan anggaran dan atau pekerjaan untuk mencari keuntungan pribadi atau kelompok.
- Sebagian penerima manfaat (masyarakat) juga tidak jujur, serakah, dan mementingkan diri sendiri, sehingga menghalalkan segala cara demi untuk mendapatkan bantuan yang lebih banyak dan lebih baik.
- Terbentuknya mental meminta dan menerima dari masyarakat yang pada akhirnya menjadi malas bekerja dan berusaha.