Selasa, 15 Maret 2011

Lesson Learnt Bantuan Livelihood Pasca Tsunami Aceh : Kasus Nelayan

Secara umum, harus diakui bahwa berbagai bantuan pasca tsunami di Aceh, baik untuk nelayan tangkat maupun budidaya, telah memberi dampak positif dan manfaat sosial ekonomi bagi para nelayan, misalnya: (a) Dengan bantuan boat/kapal dan alat tangkap, para nelayan miskin telah mempunyai boat/kapal dan alat tangkap baru. Dengan demikian mereka dapat kembali menangkap ikan di laut seperti halnya sebelum tsunami, (b) Melalui program bantuan rehab tambak, sebagian besar tambak di daerah penelitian sudah diperbaiki atau direhabilitasi sehingga para petani tambak sudah dapat kembali melakukan usaha budidaya udang dan ikan sebagaimana kegiatan ini dilakukan ketika sebelum tsunami. Walaupun, hingga saat ini masih tersisa sekitar 44,4 ha tambak di daerah penelitian (Desa Lamnga) belum direhabilitasi. Hal ini disinyalir berkaitan dengan letak lahan tambak yang terlalu dekat dengan bibir pantai sehingga bertentangan dengan ketentuan pemerintah tentang larangan membangun/mengrehab tambak yang berlokasi dekat bibir pantai atau daerah pasang surut. Disamping itu, para pelaksana program keberatan merehabilitasi tambak yang dekat dengan pantai karena alasan teknis, yaitu sulit memobilisasi alat berat dan sukar membuat atau membentuk pematang tambak dari tanah dominan berpasir dan juga mudah rubuh diterpa hujan dan ombak pasang surut.

Kenyataan menunjukkan bahwa tidak semua program rehabilitasi di atas berjalan efesien dan efektif di lapangan seperti yang direncanakan oleh para donatur dan pelaksana program. Beberapa jenis bantuan tidak memberikan dampak (manfaat) yang signifikan bagi para nelayan dan petani tambak dalam memperbaiki mata pencaharian dan pendapatan mereka. Hal ini disebabkan: (1) beberapa bantuan boat/kapal terbuat dari fiber, yang tidak sesuai dengan kondisi alam (laut) setempat, (2) bantuan boat/kapal dan alat tangkap yang tidak sesuai spesifikasi standar para nelayan setempat, terutama kualitas kayu kapal yang sangat rendah sehingga cepat rusak/bocor, (3) seringkali bantuan bahan dan alat tersebut yang sifatnya komplementer (seperti boat/kapal dan alat tangkap) tidak diberikan dalam satu paket secara bersamaan, tetapi diberikan secara terpisah dari program yang berbeda, donatur berbeda, dan pada waktu yang berbeda pula, (4) seringkali jumlah paket bantuan yang diberikan lebih sedikit dari jumlah penerima bantuan, sehingga untuk mencegah konflik dalam masyarakat, maka paket tersebut dipecah lagi (dibagi sama rata) kepada seluruh penerima bantuan dengan jumlah yang lebih sedikit. Akibatnya, nilai manfaat dari bantuan tersebut menjadi berkurang dan bahkan pada beberapa kasus bantuan tersebut tidak lagi digunakan untuk usaha produktif, akan tetapi disalahgunakan untuk kebutuhan sehari-hari (konsumtif).

Bila dilihat lebih jauh, maka akar permasalahan dari kondisi di atas ada pada donatur, pelaksana program, dan penerima program (nelayan). Ketiga hal tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:



  1. Seringkali donatur dan pelaksana program kurang tepat dalam melakukan assesment untuk memetakan potensi wilayah (alam) dan karakteristik sosial budaya masyarakat penerima bantuan.

  2. Ada kesan di masyarakat bahwa pelaksana proyek (LSM/NGOs) kurang profesional, lebih mengutamakan target kegiatan dengan tanpa memperhatikan kualitas pekerjaan, sehingga banyak kegiatan di lapangan dilaksanakan secara asal-asalan dan tidak usefull.

  3. Seringkali kapasitas tenaga pendamping yang ditempatkan di lokasi proyek sangat rendah dan tidak jujur, sehingga banyak terjadi penyelewengan anggaran dan atau pekerjaan untuk mencari keuntungan pribadi atau kelompok.

  4. Sebagian penerima manfaat (masyarakat) juga tidak jujur, serakah, dan mementingkan diri sendiri, sehingga menghalalkan segala cara demi untuk mendapatkan bantuan yang lebih banyak dan lebih baik.

  5. Terbentuknya mental meminta dan menerima dari masyarakat yang pada akhirnya menjadi malas bekerja dan berusaha.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar